KATA LOGIKA - Filsafat adalah ilmu yang yang harus dihindari oleh orang-orang yang beriman, karena dapat membuat seseorang menjadi tidak percaya Tuhan. Kira-kira begitulah streotype yang berkembang dan meluas tetap di kalangan masyarakat dan agamawan.
Namun benarkah demikian? Apakah streotype filsafat yang membuat orang menjadi tidak beriman benar-benar bisa dibenarkan? Tampaknya hal itu merupakan kekeliruan. Bahkan sebuah masalah.
Memang tidak dimungkiri, dalam tataran tertentu filsafat memang dapat membuat manusia mempertanyakan dan menandingi kekuasaan dan eksistensi Tuhan. Tapi walau begitu, bukan berarti filsafat haram dipelajari.
Baca Juga: Suparji Ahmad Bukan Ahli Pidana Korupsi, Tak Etis Komentari Formula E
Jika pun filsafat membuat orang bisa sampai pada taraf tersebut, tentu saja yang salah bukan filsafat sebagai ilmu, tapi subjek yang mempelajari dan membuat filsafat menjadi alat untuk mempertanyakan bahkan menandingi Tuhan itulah yang patut bertanggung jawab atas apa yang menjadi hasil pemikirannya (Hendra HS dalam pengantar bukunya Berpikir ala Filosof).
Jadi jelas, yang bermasalah bukan ilmunya. Tetapi subjeknyalah yang patut bertanggung jawab/bermasalah. Jadi bisa disimpulkan, kita tidak dapat menggeneralisasi suatu kasus yang sepenuhnya tidak bersifat benar dan pasti.
Bicara tentang filsafat, menurut Hendra Halomoan Sipayung (2009: 21), adalah suatu usaha untuk menjawab pertanyaan yang bersifat menyeluruh tentang manusia, alam dan Tuhan untuk sampai kepada hal yang sangat mendasar. Filsafat turut membantu kita dalam memaknai segala sesuatu yang ada di sekeliling kita termasuk keberadaan kita sendiri secara utuh dan mendasar.
Baca Juga: Takut Kena Denda, Atletico Madrid Akhirnya Permanenkan Griezmann
Sederhananya, ketika kita berusaha menjawab berbagai pertanyaan tersebut tanpa mendasarkannya pada keyakinan dogmatis, di situlah tanda bahwa kita telah berfilsafat.
Berbeda dengan ilmu sain yang kebenaran pengetahuannya harus dibuktikan secara rasional (masuk akal) dan empiris (dapat dilihat dengan panca indera), kebenaran pengetahuan filsafat hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional saja.
Bila rasional, benar, bila tidak, salah. kebenarannya tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Bila ia rasional dan empiris, maka ia berubah menjadi pengetahuan sain (Ahmad Tafsir, 2004: 9).
Baca Juga: IMP Sultra-Jakarta Bakal Laporkan PT MMP dan PT BPS ke Mabes Polri Atas Dugaan Ilegal Mining
Lalu berkaitan dengan Tuhan, apakah pengetahuan filsafat dapat membuat orang menjadi tidak percaya Tuhan, atau justru sebaliknya dapat memercayainya? Bahkan bisa mencapainya dengan membuktikannya?
Menurut Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Ilmu (2004: 10) ketika orang-orang bertanya “Siapa Tuhan itu, saya ingin mengenal-Nya, saya ingin melihat-Nya, saya ingin belajar langsung kepada-Nya,” justru tuntutan orang-orang ini tidak dapat dilayani oleh pengetahuan filsafat. Apalagi sain.
Artikel Terkait
Filsafat Negara Indonesia Perspektif Prof. Dr. Soepomo
Pengertian Teori Emanasi dalam Filsafat
Renungan Berbahagia: Percaya Yesus, Keselamatan Kekal Selamanya!
Ustadz Adi Hidayat Bohongi Umat Soal Kapitan Pattimura Bernama Ahmad Lussy
Pemahaman Sebenarnya Tentang Keluarga di Indonesia